Jakarta, infosatu.co – Penanganan radikalisme di Indonesia dan Bangladesh menarik perhatian dalam seminar internasional bertema Radicalism in Indonesia and Bangladesh: Sources, Actors, and Impact yang digelar secara virtual pada Senin, (3/6/2024).
Dalam seminar tersebut, para ahli dari University of Dhaka, Bangladesh dan Universitas Muhammadiyah Jakarta mengungkapkan bahwa tindakan tegas oleh badan antiteror serta program deradikalisasi memiliki peran yang sama pentingnya dalam menangani masalah radikalisme.
Profesor Ali Ashraf dari University of Dhaka menyoroti sumber gerakan ekstremisme di Bangladesh yang melibatkan berbagai kelompok. Termasuk kelompok kiri, etno-nasionalis, dan berbasis agama.
Di sisi lain, kandidat Doktor Debbie Affianty membahas bahaya kelompok radikal di Indonesia. Selama ini, penanganan terorisme dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) seiring dengan program deradikalisasi yang melibatkan empat tahap. Hal ini termasuk rehabilitasi dan reintegrasi sosial.
Namun demikian, untuk program deradikalisasi sejalan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Terorisme. Pemerintah Indonesia telah menerapkan empat tahap, yaitu identifikasi dan asesmen, rehabilitasi, pendidikan ulang, dan reintegrasi sosial.
Deradikalisasi di dalam Lapas/Rutan dilakukan melalui kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan nasionalisme, religiusitas, dan kewirausahaan. Hingga tahun 2022, terdapat 1.192 mantan narapidana teroris yang telah mengikuti program deradikalisasi di Indonesia.
Setelah dibebaskan, para mantan tahanan teroris sering menghadapi beberapa tantangan seperti stigma dari masyarakat serta masalah ekonomi, psikososial, dan administratif (memiliki KTP baru, dll).
Hal-hal tersebut terkadang menyebabkan para mantan tahanan teroris terlibat kembali dengan kelompok-kelompok ekstremis. Hingga saat ini, dari 1.036 mantan tahanan teroris, sekitar 116 orang terlibat dalam residivisme.
Sementara itu, Dr. Hilali Basya dari Universitas Muhammadiyah Jakarta memberikan contoh konkret tentang kelompok radikal di Jakarta. Ia menyoroti keterlibatan pemuda Betawi dalam Front Pembela Islam (FPI).
Melalui risetnya, ia menunjukkan bagaimana ketegangan politik nasional mendorong keterlibatan mereka dalam organisasi tersebut.
Seminar intenasional yang diselenggarakan atas kerja sama Laboratory of Indonesian and Global Studies (LIGS), Program Studi Ilmu Politik dan Program Magister Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Acara tersebut juga didukung University of Dhaka, Bangladesh dengan kehadiran Prof Ali Ashraf. Seminar internasional itu dihadiri 70 orang di ruang zoom.