Penulis : Humaskutim – Editor : Eres
Sangatta, infosatu.co -Kabupaten Kutai Timur (Kutim) memang luar biasa. Bukan hanya sukses mengembangkan perkebunan kelapa sawit, kabupaten di kawasan utara Kaltim ini pun sukses mengembangkan komoditi kakao atau cokelat. Rupanya, tanah “Tuah Bumi Untung Benua” sangat bersahabat dengan tanaman kakao ini.
BACA JUGA :KRL Relasi 1722 Jatinegara- Bogor Anjlok, Semua Korban Sudah Dievakuasi
Bahkan Desa Karangan Hilir, Kecamatan Karangan, sukses menahbiskan diri sebagai penghasil kakao terbesar di Kaltim.
Kepala Desa Karangan Hilir, Jabir mengungkapkan Desa Karangan Hilir merupakan daerah penghasil komoditas buah kakao yang merupakan bahan baku cokelat dengan kualitas jempolan. Bahkan tanpa ragu Jabir mengklaim, Karangan menjadi penghasil kakao terbesar di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim).
Setelah Kecamatan Sebatik di Kalimantan Utara, Kutai Timur bisa dikatakan sebagai penghasil terbesar kakao di tanah Borneo.
“Ya, daerah kami merupakan penghasil terbesar buah kakao saat ini di Kaltim. Kakao kami juga memiliki mutu dan kualitas yang cukup baik serta dapat bersaing dengan kakao dari daerah lain,” kata Jabir bangga saat diwawancarai usai Coffe Morning, di Ruang Meranti Kantor Bupati Kutim, Senin (4/3/2019).
Selanjutnya difasilitasi Dinas Perkebunan Kabupaten dan Provinsi, Jabir mengaku pihaknya bersinergi dengan PT Berau Coal di Berau untuk meningkatkan nilai jual dengan sistem permentasi.
Dijelaskan olehnya wilayah Karangan saat ini memiliki luas 100 hektar lahan yang produktif ditanami kakao. Menghasilkan panen seberat 150 ton pertahun, dengan pendapatan Rp4,5 miliar pertahun.
Jabir memaparkan nilai ekonomi tahunan dari pendapatan petani kakao setempat sebesar Rp 4,5 miliar. Jumlah itu, kata dia, terhimpun dalam tujuh kelompok tani yang terdiri dari 101 orang, seluruhnya di Kecamatan Karangan.
“Kakao atau cokelat inilah yang menjadi tumpuan dan andalan masyarakat kita untuk menopang kehidupan sehari-hari. Di antaranya untuk biaya pendidikan anak-anak mereka,” sebutnya.
Namun, dibalik potensi tersebut masih ada keluhan para petani kakao. Antara lain tingginya biaya operasional. Seperti biaya pembelian dan pengadaan pupuk yang cukup tinggi. Hal tersebut erat kaitannya dengan biaya transportasi untuk pengadaan pupuk dimaksud. Jabir berharap pemerintah dapat memberikan solusi terkait masalah tersebut.
Di samping itu pula, masyarakat petani sangat mengeluhkan keberadaan para tengkulak atau pengepul yang ada saat ini. Mereka dianggap mempermainkan harga sesuka hati, sehingga harga tidak stabil. Jabir menyebutkan kendala itu menambah penat petani selain tingginya ongkos operasional. (*)