Samarinda, infosatu.co – Kota Samarinda, Kalimantan Timur menghadapi tantangan besar dalam menangani kekerasan terhadap perempuan dan anak yang jumlah kasusnya menunjukkan angka signifikan.
Oleh karena itu, Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2PA) meluncurkan program strategis penanggulangannya.
Sistem pelaporan digital “Sapa129” yang diinisiasi akhirnya diperkenalkan. Layanan ini diklaim mampu mempercepat respons atas laporan tindak kekerasan.
Sekretaris DP2PA Samarinda Deasy Evriyani mengungkapkan bahwa layanan ini dirancang untuk mempermudah masyarakat dalam melaporkan kasus kekerasan.
Dengan sistem ini, proses pelaporan tanpa harus melalui prosedur yang rumit. Selain itu, pemkot juga memperkuat sistem melalui call center 112 sebagai jalur pelaporan alternatif.
“Dengan Sapa129 dan call center 112, kami ingin memastikan masyarakat memiliki akses cepat dan mudah untuk melaporkan kasus kekerasan. Ini adalah bentuk komitmen kami agar tidak ada lagi korban yang terabaikan,” ujar Deasy, Jumat (6/12/2024).
Ia lantas mengungkap sederet kasus yang dilaporkan ke DP2PA selama periode 2023. Jumlahnya mencapai 365 perkara kekerasan fisik.
Jumlah ini hanya mencerminkan “puncak gunung es”. Sebab, masih banyak korban yang enggan melapor akibat stigma dan minimnya pemahaman akan hak-hak mereka.
“Angka ini menunjukkan pentingnya membangun kesadaran masyarakat untuk melapor. Tidak hanya untuk membantu korban, tetapi juga mencegah kekerasan berulang,” tambah Deasy.
Untuk memperkuat langkah pencegahan, Pemkot Samarinda telah membentuk dua komunitas, yaitu Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) dan Forum Peduli KDRT (Perkasa).
Kedua komunitas ini melibatkan lebih dari 850 relawan aktif yang tersebar di 26 kelurahan.
Pemkot tidak hanya berhenti pada pembentukan komunitas. Pelatihan rutin diberikan kepada para relawan agar mereka dapat bertindak sesuai standar penanganan kasus kekerasan.
Pelatihan ini mencakup pemahaman tentang hak asasi manusia, teknik intervensi, hingga prosedur pelaporan yang benar.
“Komunitas ini adalah ujung tombak kami. Dengan bekal pelatihan yang mumpuni, mereka bisa memberikan dampak nyata di masyarakat,” jelas Deasy.
Meski kontribusi relawan bersifat sukarela, antusiasme warga untuk bergabung dalam komunitas terus meningkat.
Pemkot berharap peran mereka menjadi bagian dari amal jariyah yang memberikan manfaat jangka panjang.
Pemkot Samarinda juga menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah, media massa, dunia usaha, dan masyarakat dalam membangun sistem pencegahan kekerasan yang komprehensif.
Deasy menyatakan bahwa tanpa kolaborasi, upaya yang ada hanya akan bersifat parsial. “Kita semua punya tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi perempuan dan anak. Kolaborasi adalah kunci keberhasilan kita,” tegasnya.
Dengan penguatan sistem pelaporan dan peran komunitas, Samarinda diharapkan dapat menjadi pelopor dalam penanganan kekerasan di Kalimantan Timur, sekaligus membangun masa depan yang lebih aman dan inklusif.