Sebelum menunaikan ibadah umrah ke Tanah Suci, Mekkah dan Madinah, saya akan singgah dulu ke Turki. Perjalanan menuju Turki ini adalah momen pertama saya ke luar negeri.
Kali pertama juga saya naik pesawat berbadan besar, Emirates. Lebih lega ketimbang naik pesawat di Indonesia, walaupun sama-sama kelas ekonomi.
Setelah sekitar 8 jam terbang dari Bandara Soekarno Hatta di Tangerang, Banten, pesawat mendarat di Bandara Dubai, Qatar. Rombongan kami harus transit untuk waktu sekitar 9 jam.
Kami tiba sekitar pukul 23.00 waktu Dubai. Dan baru berangkat kembali sekitar pukul 8 pagi hari menuju Istambul, Turki.
Karena ini pengalaman pertama, jujur saya sedikit merasa aneh. Sebab biasanya, pada pukul 23 dan seterusnya, waktu beraktivitas mulai sepi. Bandara tutup, lampu sebagian besar padam dan sepi aktivitas.
Saya jadi teringat mantan Gubernur Kaltim, Isran Noor. Orang tua itu kerap melucu dengan menyebut salah satu kecamatan paling maju di Indonesia. Namanya, Kota Bangun. Sebuah kecamatan yang tidak pernah tidur. Walaupun itu hanya sebuah nama, dan makna yang berbeda dari para pengusul nama Kota Bangun.
Di Bandara Internasional Dubai, saya baru benar-benar melihat sebuah bandara yang tidak tidur. Terus menyala dan terus beraktivitas. Tentu saya tidak bertanya jauh, pesawat apa saja, dari mana dan mau kemana mereka dari malam hari, dini hari, jelang subuh, sampai pagi, siang dan malam lagi. Begitu terus setiap hari.
Menunggu waktu transit yang lama, saya pun memilih beristirahat di salah satu sudut bandara yang disiapkan untuk tempat beribadah bagi umat muslim, prayer room.
Di sebelahnya ada toilet. Saya pun sempat berbincang dengan tiga petugas kebersihan di sekitar area itu.
Muhammad Ridoan dan Muhammad Sahzal, keduanya dari Bangladesh muslim. Satu lagi, kawan mereka, Arti dari Nepal. Arti beragama Hindu.
Ketiganya pun tampak bekerja sama dan berkomunikasi sangat fasih dalam bahasa Bangladesh.
“Ya, kami selalu menggunakan bahasa Bangladesh. Arti sudah terbiasa,” kata Ridoan.
Dalam sehari, di bandara itu, mereka bekerja dalam waktu 12 jam. “Dalam seminggu kami libur sehari. Enam hari bekerja, sehari kami libur,” timpal Sahzal.
Dari pekerjaan itu mereka menerima upah sekitar 2.900 Dirham per bulan atau sekitar Rp17 juta.
Di Bandara Internasional Dubai, kesibukan sepanjang malam, dini hari, subuh dan siang hingga malam terus berlangsung. Semua tampak sibuk. Bukan hanya petugas kesehatan, tapi juga imigrasi, travel, penukaran valuta asing, dan pekerja kuliner dan pertokoan di dalam bandara.
Ribuan penumpang berlalu lalang sepanjang 24 jam nonstop setiap hari. Bisa dibayangkan, berapa besar dampak perekonomian untuk Uni Emirat Arab dari beragam aktivitas jasa dan ekonomi dari bandara ini.
Wajar saja, karena Dubai banyak menjadi pilihan transit maskapai penerbangan dunia, menuju Asia, Eropa dan juga Amerika.
Lalu, kapankah Kalimantan Timur bisa memiliki “Bandara Bangun”, untuk melengkapi Kota Bangun yang sudah lama kita miliki. Mungkin IKN akan menjawab. Wallahu a’lam