Samarinda, infosatu.co – Ketua Komisi IV DPRD Samarinda Sri Puji Astuti mengungkapkan keprihatinannya terhadap masalah penyediaan buku penunjang bagi sekolah-sekolah di Samarinda.
Ia menggarisbawahi beberapa tantangan yang dihadapi dalam penerapan Kurikulum Merdeka, terutama terkait pengadaan buku paket dan buku penunjang.
Puji menyebutkan bahwa keterlambatan pengadaan buku dari pusat serta pembatasan alokasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk pembelian buku paket menjadi kendala utama.
“Dana BOS yang maksimal 15 persen untuk pembelian buku tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan buku paket yang disiapkan oleh Kementerian,” ujar Sri Puji saat diwawancarai usai rapat paripurna di DPRD Samarinda, Rabu (7/8/2024).
“Misalnya, untuk sekolah dengan 300 siswa, anggaran yang tersedia hanya mampu membeli satu atau dua buku per siswa, jauh dari kebutuhan ideal,” lanjutnya.
Lebih lanjut, ia menyoroti perubahan kurikulum yang kerap kali terlambat. Hal ini seperti dari KTSP, K13, hingga Kurikulum Merdeka. Perubahan ini sering kali membuat pengadaan buku tidak sesuai dengan kebutuhan terbaru.
“Sekarang kelas 1 hingga 3 menggunakan Kurikulum Merdeka, sedangkan kelas 4 dan 5 masih menggunakan kurikulum lama. Hal ini menambah kompleksitas dalam pengadaan buku,” tambahnya.
Puji juga mengkritisi kurangnya pemahaman masyarakat tentang penggunaan dana BOS dan perlunya transparansi dalam pengelolaan dana tersebut.
“Dana Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Program Indonesia Pintar (PIP) yang seharusnya digunakan untuk pembelian buku sering kali tidak jelas penggunaannya. Sekolah-sekolah perlu lebih transparan dalam mengelola dan melaporkan dana ini,” tegasnya.
Sri Puji juga berharap agar DPR RI memberikan fleksibilitas lebih dalam penggunaan dana pendidikan, mengingat kemampuan keuangan daerah yang berbeda-beda.
Ia juga menekankan pentingnya peran pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggaran pendidikan yang cukup dari APBD.
“APBD Samarinda sebesar Rp5,7 triliun, dengan anggaran pendidikan sekitar Rp960 miliar rupiah, di mana Rp660 miliar di antaranya digunakan untuk gaji dan tunjangan guru. Ini menunjukkan masih kurangnya dana untuk pengadaan buku dan keperluan pendidikan lainnya,” ungkapnya.
Ia mengusulkan beberapa opsi untuk mengatasi masalah ini. Hal ini termasuk kerja sama antara pemerintah kota dengan pihak swasta melalui MOU, serta peningkatan dana Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDA).
“Dana BOSDA yang saat ini (Rp) 240 ribu per anak per tahun untuk SD dan 480 ribu per anak per tahun untuk SMP bisa ditingkatkan menjadi 1 juta atau 500 ribu per anak per tahun,” ujarnya.
Ia juga menyarankan agar pemerintah kota melakukan kerja sama dengan pihak swasta dan orang tua melalui komite sekolah.
“Dengan kesepakatan yang baik antara sekolah dan orang tua, diharapkan kebutuhan literasi anak-anak dapat terpenuhi,” katanya.
Sri Puji menekankan bahwa peran masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha sangat penting dalam mendukung pendidikan.
“Kami berharap semua pihak bisa bekerja sama untuk memastikan anak-anak kita tidak tertinggal dalam hal literasi,” tutupnya.