Samarinda, infosatu.co – Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Samarinda yang terus meningkat menjadi perhatian serius berbagai pihak.
Apalagi, setelah delapan tahun berturut-turut jumlah kasus di Kota Tepian tercatat tertinggi se- Kalimantan Timur (Kaltim).
Menyikapi fenomena itu, Forum Masyarakat Anti Kekerasan Kalimantan Timur (Fomaker Kaltim) menggelar kampanye Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) ke-16, Jumat (6/12/2024).
Kampanye dikemas dalam acara bertajuk “Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak = Pelanggaran Hak Asasi Manusia”.
Tidak sekadar deklarasi, kegiatan ini juga menegaskan bahwa tindak kekerasan merupakan wujud pelanggaran hak asasi manusia yang harus diberantas hingga ke akarnya.
Pada kesempatan itu, Sekretaris Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2PA) Kota Samarinda Deasy Evriyani mengungkapkan pentingnya peran aktif masyarakat dalam menekan kasus kekerasan yang terus meningkat.
Menurutnya, generasi muda, khususnya mahasiswa memiliki potensi besar menjadi agen perubahan.
“Keterlibatan generasi Z dalam isu ini memberikan harapan bahwa upaya penurunan angka kekerasan dapat lebih progresif. Mereka adalah pelopor dan pelapor yang mampu mengedukasi masyarakat luas,” ujarnya dalam kegiatan yang diselingi dengan penampilan aksi teatrikal dari Kampung Dongeng Etam ini.
Deasy juga menyoroti tingginya angka pernikahan anak di Samarinda. Permasalahan ini menjadi faktor krusial dalam meningkatnya kasus kekerasan.
Ia menegaskan bahwa penanganan masalah ini tidak cukup hanya dengan regulasi. Tetapi, membutuhkan pendekatan kolaboratif yang melibatkan seluruh elemen masyarakat.
“Kami mendorong masyarakat untuk berani melapor jika mengetahui adanya kekerasan. Selain itu, edukasi harus terus digencarkan untuk mencegah kekerasan sejak dini,” tegas Deasy.
Selain kampanye, DP2PA Samarinda juga berfokus pada penguatan layanan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) sebagai garda terdepan penanganan kasus.
Mereka menargetkan peningkatan aksesibilitas layanan bagi korban, termasuk penyediaan rumah aman dan pendampingan psikologis.
“Kami tidak ingin korban merasa sendirian. Dengan layanan yang lebih responsif, diharapkan korban berani melapor dan mendapat perlindungan yang memadai,” jelasnya.
Deasy mengajak semua pihak, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan komunitas lokal untuk bersama-sama menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan. Menurutnya, kolaborasi adalah kunci utama mengatasi akar masalah ini.
“Kampanye ini bukan sekadar seremonial. Ini adalah panggilan untuk bertindak nyata, demi memastikan perempuan dan anak dapat hidup dengan aman dan bermartabat,” pungkasnya.